Mahkamah Konstitusi adalah sebuah lembaga yang bertugas untuk menjamin kedaulatan hukum agar tetap berdiri tegak di Indonesia. Mahkamah Konstitusi yang kerap disingkat MK ini, ternyata memiliki kedudukan strategis yang sangat penting untuk menjamin HAM. Kedudukan ini pernah disalahgunakan oleh Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar, untuk melakukan tindak pidana korupsi berupa suap. Setelah penulis amati ternyata, harus ada pembatasan kekuasaan MK agar hal ini tidak terjadi lagi, yaitu:
sumber gambar: http://jakartabytrain.com/data/wp-content/uploads/2012/09/Mahkamah-Konstitusi.jpg diuduh pada tanggal 19 November 2015
1) Perlunya pengawasan yang ketat oleh Komisi Yudisial
Pengawasan yang dilakukan oleh Komisi Yudisial menurut penulis belum lah ketat karena masih ada celah-celah peraturan yang harus dipenuhi agar MK bisa diawasi dengan ketat, ditambah lagi putusan yang diduga melanggar etika. Oleh KY hal tersebut masuk ranah etika. Sedangkan menurut MA hal itu masuk ranah teknis putusan. Juga ditambah KY mengawasi 7500-an hakim di seluruh Indonesia. Sementara Komisi Yudisial hanya ada di Jakarta. Kadang-kadang KY tidak bisa mencover secara keseluruhan. Dalam UU memang KY diberi kewenangan untuk membuka penghubung, tapi sampai sekarang baru terealisasi 10 saja. Hal ini membuat KY haruslah bekerja keras mengawasi semua hakim ditambah lagi mengawasi hakim-hakim MK
(sumber gambar: http://setkab.go.id/wp-content/uploads/2015/02/Gedung-KY.jpg diunduh pada tanggal 19 November 2015)
2) Perlunya pembatasan Kewenangan MK untuk membatalkan peraturan perundang-undangan berupa Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
(sumber gambar: olahan penulis mengenai hierarki peraturan perundang-undangan)
Apabila kita melihat UUDN RI 1945 Pasal 24 C angka 1 disini menyatakan, “ MK Berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD...” yang artinya MK tidak diberikan batasan yang jelas untuk menguji sebuah peraturan berupa UU baik UU mengenai pengawasan terhadap MK ataupun yang berkaitan dengan hal lainnya. Hal ini adalah sebuah kekeliruan yang harus diubah.
Pasal 24C disini tidak memberikan batasan yang jelas, sehingga bisa saja MK membatalkan semua Undang-Undang yang bertujuan mengawasi MK sampai ke akar-akarnya. Hal ini justru menimbulkan penyalahgunaan wewenang yang berakibat MK sebagai sebuah lembaga yang tidak bisa diawasi sama sekali. MK juga dapat dengan mudah membatalkan Undang-Undang apapun yang berkaitan dengan pemberantasan korupsi.
Berikut adalah contoh Undang-undang yang pernah dibatalkan oleh MK untuk memperkuat dirinya agar tidak mudah diawasi:
a) Pada tahun 2006 lewat pengujian UU No. 22 Tahun 2004 tentang KY
b) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
(sumber gambar: http://data.seruu.com/images/seruu/article/2013/10/03/akilmochtar.jpg diunduh pada tanggal 19 November 2015)
3) Memberikan hukuman yang lebih berat kepada Anggota maupun Ketua Mahkamah Konstitusi apabila melakukan tindak pidana korupsi karena mereka-mereka itu dianggap paham hukum hingga ke akar-akarnya.
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia adalah bunyi sila kedua Pancasila. Keadilan bukanlah harus sama rata selalu. Seperti yang pernah saya tulis sebelumnya disini bahwa ternyata keadilan bisa saja bersifat sesuai porsinya. Sehingga apabila seseorang lebih memahami hukum daripada orang lainnya, tentu sebaiknya orang tersebut haruslah diberi sanksi yang lebih berat karena orang tersebut sangat mengerti hukum dimulai dari sejarahnya, perkembangannya, sampai hukum dikondisi sekarang. Hal ini haruslah ditunjukan kepada anggota MK maupun Ketua MK agar berani menegakkan keadilan setegak-tegaknya karena MK haruslah menegakkan keadilan agar tercipta Indonesia yang adil dan makmur.